Hakim memiliki peran penting dalam penegakan Hukum di Indonesia, namun
tak bisa dipungkiri masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan
fungsinya. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritas para
hakim serta aparat penegak hukum yang lain, masalah juga terjadi pada sistem
penegakan hukum di Indonesia dikenal sangat tidak efektif. Jalur yang rumit,
disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan situasi yang tidak
kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan efektif. Jika dirunut
secara kronologis, penyebab lambannya program penegakan hukum, khususnya pada
konteks pemberantasan kasus korupsi, terletak pada hampir semua jajaran
institusi penegak hukum atau penyidik, dari pengadilan hingga jaksa, menjadi
eksekutor serta Hakim sebagai pemberi vonis.
Salah satu hal yang menggambarkan kelemahan penegakan hukum oleh hakim,
dapat dilihat dalam kasus di mana banyak koruptor telah divonis bersalah oleh
hakim di pengadilan.Walau begitu tersangka kasus korupsi tersebut tidak
mendekam di penjara atau bebas akibat gagalnya jaksa melakukan eksekusi putusan
pengadilan. Padahal eksekusi putusan pengadilan merupakan bagian tak
terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum yang pelaksanaannya bersifat
wajib. Andai aparat penegak hukum lalai melaksanakan kewajiban eksekusi, mereka
bisa dianggap telah melawan hukum karena mengabaikan perintah undang-undang.
Dalam pemantauan ICW selama kurun waktu 10 tahun, yakni dari 2002 hingga
2012, ditemukan 49 terpidana kasus korupsi yang tidak dapat dieksekusi
putusannya karena berbagai sebab. Selain melarikan diri alias DPO, beberapa di
antara mereka tetap bisa bebas karena lambannya jaksa dalam melakukan eksekusi,
sekaligus karena Mahkamah Agung belum mengirim salinan putusan yang bersifat
tetap (inkracht). Hal ini sebagaimana Undang-Undang KUHAP menyatakan
dalam pasal 270, bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirim
salinan surat putusan kepadanya (Emerson Yuntho, 2012).
Akibat gagalnya eksekusi putusan oleh hakim di pengadilan dalam kasus
korupsi tidak terbatas pada hilangnya kesempatan bagi pelaku korupsi untuk
menjalani hukuman badan sebagai sebuah risiko yang harus ditanggung karena
melakukan pidana korupsi, namun juga pupusnya peluang bagi negara untuk
memaksimalkan penyelamatan keuangan negara.
Pasalnya, vonis pengadilan dalam kasus korupsi sebagian besar berkaitan
dengan dua hal, yakni vonis kurungan penjara dan pembayaran denda serta biaya
pengganti kejahatan korupsi yang nilainya setara dengan jumlah uang yang telah
dikorupsi oleh pelaku.Jika pelaku korupsi gagal dieksekusi, secara otomatis
biaya pengganti dan dendanya juga luput dari eksekusi.
Jika keadaan semacam ini dimintakan pertanggungjawabannya kepada penegak
hukum, biasanya mereka akan saling lempar tanggung jawab. Kejaksaan akan
menyalahkan MA yang lamban dalam mengirim salinan putusan. Demikian pula, MA
akan menyalahkan kejaksaan karena tidak buru-buru melakukan eksekusi putusan.
Tentu kebiasaan semacam ini tidak positif, terutama karena agenda pemberantasan
korupsi telah menjadi kesepakatan nasional yang semestinya menjadi komitmen
bersama seluruh aparat penegak hukum.
Akibatnya, agenda pemberantasan korupsi yang seharusnya berujung pada
eksekusi atas pelaku yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan menjadi
antiklimaks.Seakan-akan, ketika jaksa sudah berhasil menyelesaikan tugas
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka penanganan kasus korupsi
dianggap final. Sekadar mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 30 ayat (1) huruf b,
dinyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang jaksa adalah melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Selain gagalnya putusan hakim.ada pun kelemahan hakim dalam pengambilan
keputusan yaitu banyaknya kasus korupsi yang di vonis tidak bersalah oleh
pengadilan Tipikor. Apabila di cermati keputusan ini sangat tidak logis dan
menimbulkan pro kontra.KPK sebagai lembaga yang berwenang melakukan penydikan
tindak pidana korupsi yang sudah memberikan cukup bukti pada suatu persidangan
namun tetap saja terdakwa dapat divonis bebas.
Contoh nyata yang ada, yaitu
putusan bebas atas Mochtar Muhammad, walikota bekasi atas tuduhan tindak pidana
korupsi oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Padahal, sebelumnya Mochtar dituduh
menyuap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar untuk memuluskan pengesahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2010, penyalahgunaan anggaran makan-minum
sebesar Rp 639 juta, penyuapan untuk mendapatkan Piala Adipura tahun 2010
senilai Rp 500 juta, serta penyuapan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Lima terdakwa
untuk kasus yang sama diputuskan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Jaksa KPK dalam perkara Mochtar memastikan mengajukan kasasi atas
putusan bebas itu.Menurut seorang jaksa, I Ketut Sumedana, majelis hakim
Pengadilan Tipikor Bandung dinilai keliru menerapkan hukuman dan mengabaikan
semua bukti yang diajukan jaksa.Menurutnya alat bukti yang jaksa ajukan tak
dipertimbangkan semuanya.Ada 42 saksi dan 320 dokumen yang disita secara sah
oleh penyidik KPK, semua tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam
pengambilan keputusan vonis.
Walau begitu, Tim jaksa yakin akan menang di tingkat kasasi. Apalagi,
ada keanehan dalam proses sidang Mochtar, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim
Azharyadi, antara lain dengan penangguhan penahanan pada Mochtar. Penangguhan
itu memang kewenangan hakim, namun jaksa sudah menyampaikan keberatan waktu
persidangan atas penangguhan penahanan, tapi hal itu tidak dipertimbangkan juga.
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyatakan bahwa dakwaan untuk tiga kepala
daerah yang diputus bebas di Pengadilan Tipikor Bandung sudah disusun dengan
cermat. Dalam tiga bulan terakhir, Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan
Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat, Wakil Walikota Bogor (nonaktif) Achmad Ru’yat, dan Mochtar.
Sehari sebelumnya, Pengadilan Tipikor Bandung juga memutus bebas terdakwa
korupsi proyek multimedia di Kabupaten Bekasi.
Ketua Pengadilan Tipikor Bandung Joko Siswanto menyatakan bahwa hakim
memiliki kebebasan dalam memutus perkara, yang tidak bisa diintervensi oleh
opini publik, bahkan oleh ketua pengadilan.Semua putusan dibuat majelisHakim
Pengadilan Tipikor Bandung sudah diperhitungkan secara bulat, sehingga tidak
ada dissenting opinion (pendapat berbeda) dari anggota majelis hakim. Selain
itu, Hakim sudah bekerja maksimal meski juga mengakui tidak bisa menjamin 100
persen keputusannya akan adil. Bisa dikatakan, antara kejaksaan dan MA serta
jajaran pengadilan di tingkat pertama memiliki porsi kesalahan yang hampir
sepadan dalam hal eksekusi.Pada tingkat kejaksaan, agenda eksekusi putusan
pengadilan tidak dicantumkan sebagai salah satu tolok ukur kinerja dalam
pemberantasan korupsi. Kejaksaan masih berkutat pada jumlah perkara yang
berhasil disidik dan dituntut, serta jumlah penyelamatan keuangan negara,
tetapi tidak menyebutkan sama sekali jumlah kasus korupsi yang berhasil
dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan.
Banyaknya kasus vonis bebas dan gagalnya putusan hakim, membuat majelis
hakim dalam perannya melaksanakan penegakan hukum di Indonesia masih harus di
periksa kembali.Hal ini karena adanya hakim yang dianggap tidak memperdulikan
barang bukti dari jaksa dalam pengadilan.Selain itu, sidang pada pengadilan
tindak pidana korupsi sangat rawan dengan suap menyuap, sehingga Hakim dituntut
lebih professional dalam melaksanakan perannya.Tentu, secara langsung apabila
adanya putusan bebas oleh hakim maka wajar bila terjadi kontroversi dalam
pengambilan keputusan apabila dilihat dari sisi positifnya.
Penulis : Chandra Laksana
Penulis : Chandra Laksana
0 komentar:
Posting Komentar