Minggu, 15 April 2012

Studi Kasus Peran Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia


Hakim memiliki peran penting dalam penegakan Hukum di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan fungsinya. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritas para hakim serta aparat penegak hukum yang lain, masalah juga terjadi pada sistem penegakan hukum di Indonesia dikenal sangat tidak efektif. Jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan efektif. Jika dirunut secara kronologis, penyebab lambannya program penegakan hukum, khususnya pada konteks pemberantasan kasus korupsi, terletak pada hampir semua jajaran institusi penegak hukum atau penyidik, dari pengadilan hingga jaksa, menjadi eksekutor serta Hakim sebagai pemberi vonis.
Salah satu hal yang menggambarkan kelemahan penegakan hukum oleh hakim, dapat dilihat dalam kasus di mana banyak koruptor telah divonis bersalah oleh hakim di pengadilan.Walau begitu tersangka kasus korupsi tersebut tidak mendekam di penjara atau bebas akibat gagalnya jaksa melakukan eksekusi putusan pengadilan. Padahal eksekusi putusan pengadilan merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum yang pelaksanaannya bersifat wajib. Andai aparat penegak hukum lalai melaksanakan kewajiban eksekusi, mereka bisa dianggap telah melawan hukum karena mengabaikan perintah undang-undang.
Dalam pemantauan ICW selama kurun waktu 10 tahun, yakni dari 2002 hingga 2012, ditemukan 49 terpidana kasus korupsi yang tidak dapat dieksekusi putusannya karena berbagai sebab. Selain melarikan diri alias DPO, beberapa di antara mereka tetap bisa bebas karena lambannya jaksa dalam melakukan eksekusi, sekaligus karena Mahkamah Agung belum mengirim salinan putusan yang bersifat tetap (inkracht). Hal ini sebagaimana Undang-Undang KUHAP menyatakan dalam pasal 270, bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirim salinan surat putusan kepadanya (Emerson Yuntho, 2012).
Akibat gagalnya eksekusi putusan oleh hakim di pengadilan dalam kasus korupsi tidak terbatas pada hilangnya kesempatan bagi pelaku korupsi untuk menjalani hukuman badan sebagai sebuah risiko yang harus ditanggung karena melakukan pidana korupsi, namun juga pupusnya peluang bagi negara untuk memaksimalkan penyelamatan keuangan negara.
Pasalnya, vonis pengadilan dalam kasus korupsi sebagian besar berkaitan dengan dua hal, yakni vonis kurungan penjara dan pembayaran denda serta biaya pengganti kejahatan korupsi yang nilainya setara dengan jumlah uang yang telah dikorupsi oleh pelaku.Jika pelaku korupsi gagal dieksekusi, secara otomatis biaya pengganti dan dendanya juga luput dari eksekusi.

Jika keadaan semacam ini dimintakan pertanggungjawabannya kepada penegak hukum, biasanya mereka akan saling lempar tanggung jawab. Kejaksaan akan menyalahkan MA yang lamban dalam mengirim salinan putusan. Demikian pula, MA akan menyalahkan kejaksaan karena tidak buru-buru melakukan eksekusi putusan. Tentu kebiasaan semacam ini tidak positif, terutama karena agenda pemberantasan korupsi telah menjadi kesepakatan nasional yang semestinya menjadi komitmen bersama seluruh aparat penegak hukum.
Akibatnya, agenda pemberantasan korupsi yang seharusnya berujung pada eksekusi atas pelaku yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan menjadi antiklimaks.Seakan-akan, ketika jaksa sudah berhasil menyelesaikan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka penanganan kasus korupsi dianggap final. Sekadar mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 30 ayat (1) huruf b, dinyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang jaksa adalah melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain gagalnya putusan hakim.ada pun kelemahan hakim dalam pengambilan keputusan yaitu banyaknya kasus korupsi yang di vonis tidak bersalah oleh pengadilan Tipikor. Apabila di cermati keputusan ini sangat tidak logis dan menimbulkan pro kontra.KPK sebagai lembaga yang berwenang melakukan penydikan tindak pidana korupsi yang sudah memberikan cukup bukti pada suatu persidangan namun tetap saja terdakwa dapat divonis bebas.
Contoh nyata  yang ada, yaitu putusan bebas atas Mochtar Muhammad, walikota bekasi atas tuduhan tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Padahal, sebelumnya Mochtar dituduh menyuap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar untuk memuluskan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2010, penyalahgunaan anggaran makan-minum sebesar Rp 639 juta, penyuapan untuk mendapatkan Piala Adipura tahun 2010 senilai Rp 500 juta, serta penyuapan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Lima terdakwa untuk kasus yang sama diputuskan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Jaksa KPK dalam perkara Mochtar memastikan mengajukan kasasi atas putusan bebas itu.Menurut seorang jaksa, I Ketut Sumedana, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung dinilai keliru menerapkan hukuman dan mengabaikan semua bukti yang diajukan jaksa.Menurutnya alat bukti yang jaksa ajukan tak dipertimbangkan semuanya.Ada 42 saksi dan 320 dokumen yang disita secara sah oleh penyidik KPK, semua tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam pengambilan keputusan vonis.
Walau begitu, Tim jaksa yakin akan menang di tingkat kasasi. Apalagi, ada keanehan dalam proses sidang Mochtar, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Azharyadi, antara lain dengan penangguhan penahanan pada Mochtar. Penangguhan itu memang kewenangan hakim, namun jaksa sudah menyampaikan keberatan waktu persidangan atas penangguhan penahanan, tapi hal itu tidak dipertimbangkan juga.
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyatakan bahwa dakwaan untuk tiga kepala daerah yang diputus bebas di Pengadilan Tipikor Bandung sudah disusun dengan cermat. Dalam tiga bulan terakhir, Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat, Wakil Walikota Bogor (nonaktif) Achmad Ru’yat, dan Mochtar. Sehari sebelumnya, Pengadilan Tipikor Bandung juga memutus bebas terdakwa korupsi proyek multimedia di Kabupaten Bekasi.
Ketua Pengadilan Tipikor Bandung Joko Siswanto menyatakan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara, yang tidak bisa diintervensi oleh opini publik, bahkan oleh ketua pengadilan.Semua putusan dibuat majelisHakim Pengadilan Tipikor Bandung sudah diperhitungkan secara bulat, sehingga tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda) dari anggota majelis hakim. Selain itu, Hakim sudah bekerja maksimal meski juga mengakui tidak bisa menjamin 100 persen keputusannya akan adil. Bisa dikatakan, antara kejaksaan dan MA serta jajaran pengadilan di tingkat pertama memiliki porsi kesalahan yang hampir sepadan dalam hal eksekusi.Pada tingkat kejaksaan, agenda eksekusi putusan pengadilan tidak dicantumkan sebagai salah satu tolok ukur kinerja dalam pemberantasan korupsi. Kejaksaan masih berkutat pada jumlah perkara yang berhasil disidik dan dituntut, serta jumlah penyelamatan keuangan negara, tetapi tidak menyebutkan sama sekali jumlah kasus korupsi yang berhasil dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan.
Banyaknya kasus vonis bebas dan gagalnya putusan hakim, membuat majelis hakim dalam perannya melaksanakan penegakan hukum di Indonesia masih harus di periksa kembali.Hal ini karena adanya hakim yang dianggap tidak memperdulikan barang bukti dari jaksa dalam pengadilan.Selain itu, sidang pada pengadilan tindak pidana korupsi sangat rawan dengan suap menyuap, sehingga Hakim dituntut lebih professional dalam melaksanakan perannya.Tentu, secara langsung apabila adanya putusan bebas oleh hakim maka wajar bila terjadi kontroversi dalam pengambilan keputusan apabila dilihat dari sisi positifnya.


Penulis : Chandra Laksana

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India